Wednesday, October 10, 2012

6 Penjara Bagi Manusia


Manusia sebenarnya sudah harus menjalani 6 penjara. Penjara itu yang menjerat manusia sehingga dia terbuai dengan penjara dan pengekang untuk dapat menuju kehadirat ilahi. Berbeda dengan penjara buatan manusia atau pemerintah, Penjara manusia ini kadang justru mengenakkan dan mengasyikkan. Keenam penjara ini akan membelenggu manusia untuk bisa lebih mendekat kepada Alloh SWT.

Peringkat penjara pertama ialah membebaskan diri dari cengkraman penjara alam jasad. Penjara alam jasad ialah hawa nafsu. Didalam penjara hawa nafsu ini tersedia berbagai-bagai hidangan yang lazat-lazat seperti kekuasaan, kemegahan, kemuliaan, pujian, ujub, ria, tamak, dengki dan lain-lain. 

Jika mau melepaskan diri dari penjara ini hendaklah berpuasa dari semua makanan yang dihidangkan. Jangan diajak bercakap tentang makanan tersebut karena jika dibawa kepada perbincangan akan mendatangkan selera. Sembunyikan selera dan lapar walaupun perut bergelora. Sambutlah setiap hidangannya dengan menggelengkan kepala dan palingkan muka ke arah lain. Apabila makanannya tidak dijamah, hawa nafsu tidak ada kuasa lagi memenjarakan seseorang itu. Bebaslah dia keluar dari penjara tersebut.

Setelah keluar dari penjara nafsu seseorang itu berhadapan pula dengan penjara ke 2 yakni penjara dunia. Penjara dunia memamerkan berbagai jenis keindahan dan menjanjikan keabadian. Dunia telah menghidangkan apa saja yang menyenangkan dan mengeluarkan air liur. 
Di dalam penjaranya seseorang dibenarkan melakukan apa saja, menikmati apapun hidangannya tanpa pantangan dan larangan. Di dalam penjara dunia ini seseorang dikurung didalam bilik yang bernama syahwat. 

Kaki dan tangannya dirantai dengan rantai yang bernama kelalaian. Matanya ditutup dengan penutup yang bernama panjang angan-angan. Didalam penjara ini makanan hawa nafsu masih lagi dihidangkan karena dunia dan hawa nafsu senantiasa bekerjasama. Oleh karena itu setelah berpuasa dari hidangan hawa nafsu seseorang itu perlu pula mendapatkan alat memutuskan rantai yang mengikatnya dan merobohkan dinding penjara tersebut. Alatnya ialah ingat kepada mati dan pembalasan selepas kematian. Inilah alat yang dapat membebaskan seseorang dari penjara dunia.

Setelah keluar dari penjara dunia seseorang itu akan masuk kedalam penjara tingkatan ke 3 yaitu yang disebut penjara akhirat. Hidangan didalam penjara ini ialah pahala, syurga dan bidadari. Rantai yang mengikat seseorang didalam penjara ini ialah kehendak atau keinginan atau lebih tepat jika dipanggil kesadaran terhadap diri sendiri. Perhatian kepada diri sendiri yang melakukan amal kebaikan menjadikan seseorang lebih terikat didalam penjara akhirat. 
Kendaraan yang dapat membawanya keluar ialah ilmu, yaitu ilmu yang dapat melepaskan seseorang dari bersandar kepada amalnya dan melihat bahwa amal kebaikan yang keluar dari dirinya adalah kurnia Allah SWT semata-mata. Tanpa kurnia rahmat dan petunjuk dari Allah SWT niscaya tidak akan ada kebaikan pada dirinya. Apabila seseorang telah kuat berpegang kepada kurnia Allah SWT dia akan bebas dari penjara akhirat.

Setelah selamat dari penjara akhirat seseorang itu akan masuk pula ke dalam penjara tingkatan ke 4 yaitu penjara alam malaikat, yaitu penjara alam maujud yang terakhir. Hidangan di dalam penjara ini ialah kedekatan dan kemuliaan disisi Allah SWT. Rantai pengikat ialah sisa-sisa kehendak diri sendiri dan kesadaran terhadap diri sendiri yang menerima kurnia Allah SWT. Pada peringkat ini perlulah dihapuskan seluruh kehendak, cita-cita, angan-angan, harapan, hajat, fikiran dan segala yang maujud. Apabila kefanaan dari semua yang maujud dicapai, dapatlah dia keluar dari penjara malaikat.

Setelah berhasil keluar dari semua jenis penjara alam, seseorang itu masuk kedalam penjara ke 5 yaitu penjara ilmu tentang Allah SWT. Ilmu Allah SWT  bukanlah alam, tetapi adalah hal ketuhanan sendiri. Hidangan di dalam penjara ini ialah rahasia yang ghaib tentang hukum Allah SWT  di dalam alam. Dalam suasana Ilmu Allah SWT  inilah dapat dilihat dari penetapan Ilahi yang menggerakkan alam maya dan semua kejadian yang berlaku di dalamnya. Oleh sebab Ilmu tentang Allah SWT sangat luas dan tiada batas sempadan maka penjaranya juga tidak ada sempadan. Barangsiapa yang asyik dengan berbagai ilmu yang terdapat didalamnya akan terpenjara selama-lamanya disini, karena jika mau dikaji Ilmu Allah SWT  niscaya seseorang itu akan mati dahulu sebelum sempat mengkaji sebesar zarah dari Ilmu-Nya. Seseorang yang mau lepas dari penjara ini hendaklah menjadikan ilmu ini sebagai kendaraan bukan tujuan. Ilmu bukanlah mahkota untuk dijunjung tetapi ia adalah alat untuk berjalan. Apabila ilmu dilayani dengan adil yaitu meletakkannya pada tempat yang patut baginya, dapatlah seseorang itu bebas dari tawanannya.

Bila keluar dari penjara ilmu, diri akan masuk ke dalam penjara ke 6 yaitu penjara makrifat. Ia adalah penjara yang paling kukuh. Ilmu Allah dan makrifatullah bukan lagi alam maujud. Apa yang didapati pada kedua-duanya adalah hakikat-hakikat atau hal-hal ketuhanan.

Paling tinggi pencapaian ilmu tentang Allah SWT  ialah: Tidak tahu dan tidak dapat dikatakan apa-apa, karena tiada sesuatu menyamai-Nya, menyerupai-Nya atau dapat diibaratkan bagi-Nya. Pada martabat makrifat yang paling tinggi pencapaiannya ialah: Zat diri-Nya tidak dapat dikenal oleh siapapun. Dia kini adalah sebagaimana Dia dahulu, bahkan tidak ada kini dan tidak ada dahulu pada-Nya.

Percobaan untuk mengenal diri Allah SWT  lebih dari itu adalah sia-sia. Jika dicoba juga maka hasilnya adalah tidak ada apa apa yang akan didapati. Barangsiapa yang sampai kepada makom makrifat janganlah tinggal terpenjara didalamnya. Keluarlah dari makrifat barulah dapat sampai ke Hadirat Allah SWT.

Tajrid atau penanggalan secara keseluruhannya dari segala-galanya adalah syarat untuk bertemu dengan Allah SWT. Seseorang hendaklah melepaskan ilmu pengetahuannya, amal perbuatannya, makrifatnya, sifatnya, namanya dan semua maklumat, dengan demikian dia bertemu dengan Allah SWT  seorang diri tanpa bekal apapun. Dia hendaklah melihat datangnya hidayat dan kemurahan Allah SWT, bukan hasil dari amal dan ilmunya. Tinggalkan segala-galanya dan masuklah kepada Hadirat Allah SWT.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan: “Roh itu dari perkara urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit saja”. ( Ayat 85 : Surah al-Israa’ )
Apa yang kita tidak mengerti dan tidak mempunyai ilmu tentangnya kecuali terlalu sedikit ialah roh.
Serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku. ( Ayat 72 : Surah Saad)
Roh yang terkait atau dinisbahkan kepada Allah SWT  itulah yang menghadap kepada Allah SWT  dan yang dapat masuk ke Hadrat Allah SWT. Roh adalah urusan Allah SWT. Bagaimana roh masuk ke Hadirat Allah SWT itu juga urusan Allah SWT, kita tidak diberi ilmu tentangnya kecuali  teramat sedikit. Pengetahuan yang sedikit itu ialah: “URUSAN ALLAH SWT !!!”  Jangan dipersoalkan dan diusut lagi. Allah SWT adalah puncak segala tujuan, penghabisan segala perjalanan dan tumpuan semua permintaan.(Al Hikam 50)

Sangsi Bagi Penghina Nabi Muhammad SAW


Sangsi Bagi Penghina Nabi Muhammad SAW

Penistaan terhadap Rasulullah SAW seakan tiada hentinya. Kasus demi kasus bermunculan silih berganti. 

Di Belanda, ada film berbau SARA yang merendahkan ajaran Islam beserta Muhammad dengan judul “Fitna”, begitu juga kasus kartun Nabi di Denmark. 

Paling anyar, tentunya ialah penghinaan Rasulullah yang dilakukan oleh Sam Bacile, lewat film kelas teri, “The Innocence of Muslims”.

Kasus terakhir ini terbilang paling heboh. Bukan karena kualitas filmnya, melainkan dampak yang diakibatkan setelah diunggahnya film tersebut di Youtube dan media sosial lainnya. Aksi protes meledak di berbagai belahan dunia. 

Tak ada jaminan, tindakan serupa tidak terulang pada kemudian hari. Ini lantaran tidak ada peraturan dan kesepakatan internasional soal kejahatan menghina Rasulullah atau simbol-simbol agama yang disucikan. Rentetan kejadian ini menarik perhatian sejenak untuk menengok polemik penghinaan Rasulullah di era klasik.

Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab, melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub An-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qanun Ad- Dauli”, memaparkan persoalan ini secara terperinci dan penyikapan para ulama salaf. 

Mereka sepakat satu hal, yaitu bila pelaku adalah Muslim, ia bisa dinyatakan murtad dan mesti dibunuh. Pendapat ini adalah pernyataan para ulama, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Laits, Ahmad, Syafi’i, dan Ishaq. Konsensus ini ditegaskan oleh Abu Bakar ibn Al-Mudzir dan Abu Sulaiman Al-Khutabi.


Kesepakatan ini dilandasi dasar dan argumentasi yang kuat. Larangan untuk menyudutkan Rasulullah itu tertuang, antara lain, dalam ayat 57 Surah Al-Ahzab, Adz-Dzariyaat ayat ke-10, dan Al-Munafiquun ayat 4. 

Ini diperkuat dengan hadis-hadis Rasulullah yang melarang cacian dan ejekan terhadapnya. Misalnya saja, riwayat Al-Hakim yang mengisahkan tentang perintah membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf. 

Instruksi itu menyusul ejekan dan hinaannya terhadap Rasulullah. Kasus dan sanksi serupa juga dijatuhkan terhadap pelaku penistaan ketika peristiwa penaklukan Makkah. Kisah ini seperti dinukilkan oleh Bukhari dan Muslim.

Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku penistaan juga berlangsung pada masa kekhalifahan. Suatu saat, Harun Ar-Rasyid meminta fatwa ke Imam Malik bin Anas yang berada di Tanah Hijaz, Madinah, perihal sanksi bagi seseorang yang telah mencaci Rasulullah.

Sang Khalifah menceritakan para ahli fikih di Irak memberi fatwa, yaitu pelaku hanya dijatuhi hukuman cambuk. Tak elak, pendapat ini menyulut kemarahan Imam Malik. 

Menurut dia, siapa pun yang menghina Rasulullah maka harus dibunuh. Sedangkan mereka yang merendahkan sahabat cukup dicambuk. “Wahai pemimpin Mukminin, apa jadinya umat bila Nabi mereka sendiri telah dihina?”

Sikap tegas terhadap para penista Nabi ditunjukkan pula oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketegasan itu bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan oleh pejabat pemerintah di Kufah. 

Ketika itu, bawahannya menanyakan hukum mereka yang telah mencaci Umar bin Khatab. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab, haram hukumnya membunuh sesama Muslim yang mencaci seseorang, kecuali bila yang dihina Rasulullah. “Jika demikian, halal darahnya,” katanya.


Tidak gugur
Muncul pertanyaan, bagaimana bila pelaku bertobat setelah perbuatannya itu? Apakah tobatnya akan diterima lantas menggugurkan sanksi di dunia? 

Guru Besar Adab di Universitas Manovea, Mesir, ini mengatakan ulama sepakat, tobat nasuha akan bermanfaat baginya kelak di akhirat. Tetapi, apakah kemudian menghindarkannya dari hukuman mati?

Para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, tobatnya tersebut tidak berpengaruh apa pun pada sanksi di dunia. 

Ia tetap harus menjalani hukuman mati. Mereka beranggapan, sebagaimana hukuman lain di dunia, maka sanksi itu tak lantas otomatis gugur dengan tobat pelaku.

Sedangkan kelompok yang kedua berpandangan, mereka yang telah menghina Rasulullah dari kalangan Muslim lalu bertobat dengan sebenar-benar tobat maka sanksi itu gugur. 

Ia tak perlu dibunuh. Opsi ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi, Syafi’i di salah satu riwayat pendapatnya yang lemah, dan sebagian kecil Mazhab Hanbali.

Mereka berasumsi, bila seorang non-Muslim menistakan Rasulullah, lalu ia masuk Islam dan bertobat saja mendapat dispensasi tidak dibunuh, tentunya ketentuan yang sama pantas berlaku bagi seorang Muslim yang bertobat.



Kasus penghinaan Rasulullah SAW kerap terjadi di negara-negara Barat dan tentunya oleh pelaku yang didominasi dari kalangan non-Muslim. 

Islam memberikan sanksi tegas bagi Muslim yang menghina simbol kesucian agama-dalam konteks ini ialah melecehkan Nabi. 

Bila terbukti dan ada unsur kesengajaan, maka ia harus menanggung akibatnya berupa hukuman mati. Bagaimana jika penghina ialah non-Muslim? Apakah akan diperlakukan sama?

Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub an-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun ad-Dauli” mengupas hukum penistaan terhadap Nabi oleh non-Muslim.

Istilah yang ia gunakan untuk kelompok ini lebih terperinci, yaitu ahlu ad-dzimmah (Nasrani dan Yahudi) atau golongan lainnya yang berdomisili di wilayah Islam.

Para ulama sepakat, non-Muslim yang menghina Rasulullah harus dihukum. Namun, hukuman seperti apa yang mesti dijatuhkan kepada pelaku? Mereka berselisih pandang. Ada dua pendapat ulama menyikapi kasus ini.

Kelompok yang pertama menyatakan pelecehan terhadap Nabi, apa pun itu bentuknya, entah menghina kehormatan, merendahkan kemuliaan, atau mendiskreditkan sosok Rasulullah, maka yang bersangkutan pantas dibunuh. Alasannya cukup jelas, melecehkan Rasulullah tidak termasuk nota kesepakatan dan kesepahaman tanggungan (dzimmah).

Imam Al-Jashsash dari Mazhab Hanafi mengatakan, bila Muslim melecehkan Nabinya, maka ia tidak diampuni dan wajib dibunuh. Hukuman serupa laik diterima oleh non-Muslim, seperti Yahudi dan Nasrani. (baca: Sanksi Bagi Penghina Rasulullah-3).

Menurut Imam Syafi’i, orang kafir yang telah merendahkan Alquran dan Muhammad SAW, maka ia dianggap telah merusak kesepakatan bersama dan halal darahnya. 

Tak ada lagi tanggung jawab sebagai warga yang berhak atas perlindungan. Mereka berargumen dengan beberapa dalil, antara lain ayat 12 Surah at-Taubah: 

“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”

Sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dalam Sunan Abu Daud juga menguatkan pendapat ini. Ketika itu, seorang perempuan mencaci maki Rasulullah. 

Seorang sahabat tidak bisa menerima perlakuan keji itu, lalu ia pun mencekik leher pelaku hingga mati. Instruksi untuk membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf dalam Sunan An-Nasai, termasuk dalil utama kalangan ini.

Abdullah bin Umar pernah mendapat laporan tentang seorang pendeta yang menghujat Nabi. Ibn Umar mengatakan, seandainya ia mendengar langsung hujatan tersebut maka ia akan membunuhnya. Karena, perjanjian perlindungan dan perdamaian yang disepakati bukan untuk melecehkan Rasulullah.

Pendapat yang kedua menegaskan bahwa para penghina Rasulullah dari non-Muslim tidak perlu dibunuh karena penyekutuan atas Tuhan sudah cukup memiliki dampak hukum yang besar. Kubu ini berpendapat, mereka hanya perlu dijebloskan ke penjara atau diasingkan.

Pandangan ini merupakan representasi dari Abu Hanifah, At-Tsauri, dan pengikut keduanya dari para ahli fikih asal Kufah.

Argumentasi mereka ialah hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Riwayat itu mengisahkan, Rasulullah tidak bersikap keras atas cacian Yahudi. Ini terjadi pada peristiwa keberadaan racun dalam makanan. 

Rasulullah, seperti dinukilkan dari Anas bin Malik, menolak membunuh perempuan Yahudi yang menghidangkan kambing beracun.

Syahadat

Prof Hasan memaparkan sebuah jawaban atas persoalan, yakni apakah sanksi tersebut akan gugur secara otomatis bila pelaku menyatakan masuk Islam? 

Ia menjawab, terjadi silang pendapat antar ulama. Menurut kelompok yang pertama, hukuman tersebut batal dengan sendirinya jika si pelaku menyatakan memeluk Islam. 

Ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi dan riwayat populer dari Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Lanjutan pernyataan Abdullah bin Umar di atas menambahkan, bila penghina bersyahadat maka ia tidak dibunuh. Ini sesuai juga dengan seruan ayat 38 Surah Al-Anfal:
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu’.”

Sedangkan, pendapat yang kedua mengatakan, Islamnya pelaku tidak menggugurkan sanksi. Bila Muslim menistakan Nabinya saja dihukum mati, apalagi ini non-Muslim. 

Keislamannya pun tak berpengaruh apa pun. Pandangan ini merupakan aspirasi bagian kecil Mazhab Maliki dan Hanbali.

Diskusi perihal penistaan Rasulullah dalam fikih klasik menjadi rujukan penting bagi sejumlah lembaga fatwa negara-negara Islam di era modern. Berbagai institusi fatwa resmi tersebut merujuk keputusan mereka ke ragam fatwa yang terdapat di banyak literatur. 

Kesimpulan sama persis berkaitan dengan penghina Rasulullah dengan ketentuan serupa diadopsi, antara lain oleh Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi, Komite Syariat Dai dan Ulama Sudan, Lembaga Fatwa, Mesir, serta Dewan Fatwa Tertinggi Irak.
Sumber : Republika

Sunday, August 12, 2012

Wednesday, August 1, 2012

UZLAH


UZLAH
"Tak ada yang lebih bermanfaat bagi kalbu ketimbang ‘Uzlah yang memasuki medan kontemplasi"
 “Tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat atas hati sebagaimana uzlah, sebab dengan memasuki uzlah alam pemikiran kita akan menjadi lapang.”
Keutamaan Uzlah
Uzlah artinya mengasingkan diri dari dunia ramai, masuk ke dunia kesendirian, dengan tujuan menghidupkan jiwa dan mensucikan pikiran dari pengaruh yang merusak. Dengan uzlah akan memperkuat pikiran sehat, menerangi logika dengan sinar Allah, menjauhkan diri dari pikiran maksiat dan perbuatan dosa. Sebab kadang perbuatan maksiat memasuki rongga hidup manusia, datangnya tiba-tiba dan tak dapat diduga-duga.
Dalam uzlah alam pikiran manusia akan menjadi tenang dan luas jangkauannya, wawasan berpikirnya pun bertambah, sedangkan jiwanya menjadi bersih dan tenteram. Dalam keadaan tenang manusia mampu berpikir tentang ciptaan Allah, dan kebesaran Allah sebagai Maha Pencipta alam semesta serta isinya.
Dengan uzlah akan terhimpun dalam rongga jiwa kita sifat-sifat mulia, akhlaqul karimah, serta terhindar dari sifat-sifat mazmumah dan akhlak yang bejat. Cara uzlah ini sekaligus akan memelihara iman dan keyakinan kita serta akan membersihkan jiwa kita dari dosa-dosa kecil, demikian juga akan menghindarkan si hamba dari mendekati dosa-dosa besar.
Sifat-sifat mulia, seperti kalimat-kalimat zikir, pikiran bersih, cita-cita suci, kehendak-kehendak yang menggerakkan amal, perasaan yang menghidupkan iman dan semangat jihad, demikian juga keinginan untuk memberi pertolongan.
Akal pikiran yang menjadi alat berpikir manusia harus selalu dijaga kebaikannya, karena orang yang akan berpikir sajalah yang akan memperoleh kemajuan hidup. Berpikir dan menganalisa dengan pikiran yang sehat akan menyelamatkan manusia dari kekacauan dan ketidakstabilan.
Akal sehat dan pikiran yang jernih akan membiarkan manusia memilih mana yang maslahat dan mana yang mafsadah. Demikian akal pikiran yang dipergunakan akan menjadi kemudi jalan hidup kita, serta mengendalikan pikiran yang berlebih-lebihan, dan menempatkan pikiran pada tempat yang tepat dan strategis.
Orang yang suka ber-uzlah, mampu mengatur jalan pikirannya di waktu hening. Pikiran yang dikendalikan secara teratur akan mendapatkan hasil pikiran yang mampu menggerakkan hidup dan mengarahkannya kepada apa yang dikehendaki oleh syariat agama Islam, dan mengantarkan hamba-hamba Allah kepada “mardhotillah”.
Di saat-saat tertentu adakalanya kita memerlukan logika di samping syariat. Diwaktu seseorang sedang berpikir dikala suasana hening ia akan memperoleh inspirasi (ilham), atau hidayah ilhami dari pikiran yang sedang diaturnya, sehingga akan mudah memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Baik itu persoalan duniawi maupun persoalan ukhrawi. Masuk kepada persoalan yang memerlukan analisa berpikir, maka agama sebagai bagian dari pedoman pemecahan persoalan, akan memberi kepada nilai-nilai hidup yang lebih banyak faedahnya.
Keutamaan yang diperoleh dari sifat uzlah cukup banyak dan bervariasi menuju kesuksesan yang diridhai Allah Swt. Di samping itu, semangat uzlah diperlukan bagi kebangkitan alam pikiran Islami dari masa ke masa.
Keutamaan yang dapat ditemukan dalam uzlah, adalah terhindarnya seorang hamba dari perbuatan maksiat, seperti menggunjing, berolok-olok, mengumpat, sombong, dengki, iri, dusta, namimah, ghibah, durhaka, menghina dan bermacam-macam sifat yang buruk. Uzlah ibarat tempat pencucian diri. Dengan demikian akan terpeliharalah agama, dan terhindar dari keburukan, kemaksiatan dan fitnah.
Uzlah akan memberi kesempatan bagi si hamba menyibukkan diri dengan kesucian hati, lidah dan perilaku, dan menghindarkan diri dari kesibukan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Uzlah adalah salah satu jalan hijrah dari kejelekan kepada kebaikan, dari kesempitan berpikir kepada kelapangan berpikir. Abi Ishaq Ibrahim bin Mas’ud berkata, “Dengan terasing, akan terhimpunlah cita-cita. Dan dengan cita-cita itu akan memperkokoh keyakinan kepada Allah, sedang rencana sangat berbeda dari cita-cita ataupun harapan.”
Dikatakan lagi, bahwa seorang hamba yang hidup menyepi maka ia dapat mengheningkan dirinya dan menyimpulkan masalah yang dianalisanya dalam situasi yang bersih. Nabi Isa as. berkata, “Kalau kamu duduk dengan orang mati, maka kamu akan mati sebelumnya, dan kalau kamu duduk dengan orang yang hidup pikirannya, kamu akan menjadi orang yang hidup dan suka berpikir.”
Sesungguhnya para hamba Allah yang saleh akan banyak meluangkan waktu bersepi-sepi sendiri (berbuat uzlah) untuk merenungkan dirinya dan mengevaluasi amal ibadahnya, mencuci hati dan pikirannya dengan perenungan yang suci, dan memberi arah kepada pikirannya dengan logika yang sehat dan wawasan yang dalam. Disaat jiwa kita jernih akan jernih pula hati dan pikiran kita, dan disaat hati kita lapang akan lapang juga pikiran dan akal kita.
Uzlah Qolbu
Mengapa ‘Uzlah? Karena melalui ‘Uzlah itulah seseorang bisa selamat dari tipudaya-tipudaya, sementara dengan ruang kontemplasi mampu memberikan pencerahan cahaya dalam jiwa. Setiap ‘Uzlah yang tidak disertai dengan kontemplasi pemikiran, maka hanya akan melahirkan kekosongan dan kesombongan belaka. Dalam saat yang sama, suatu aktivitas kontemplasi juga tidak bisa dilakukan tanpa ‘Uzlah itu sendiri.

Menurut Syekh Abul Qasim al-Qusyairi dalam Ar-Risalatul Qusyairiyah, ‘Uzlah merupakan lambang bagi orang yang sedang wushul (sampai) kepada Allah. Memisahkan diri dari keramaian manusia sangat diperlukan bagi mereka yang baru saja menempuh jalan suf. Selanjutnya ia mengasingkan hatinya dari duniawi karena berada dalam kesukacitaan luar biasa dalam hatinya.

Banyak sekali uraian tentang ‘Uzlah dari para sufi. Tentu saja pengalaman mistikal mereka sangat mempengaruhi terminologi yang muncul dalam menguraikan soal ‘Uzlah tersebut.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari penghidupan adalah seseorang yang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apabila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam berperang ia memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di medan jihad. Atau seseorang menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak gunung atau di kedalaman lembah, namun tetap mendirikan shalat, membayar zakat dan beriubadat kepada Tuhan hingga mencapai keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia kecuali didasarkan atas kebajikan?
Hadits di atas menunjukkan betapa, suatu keberanian mencapai keyakinan akan “banyak digoda oleh hiruk pikuk ketakutan dan kekhawatiran. Hal yang sama ketika seseorang berada dalam kesunyian, di gunung atau di lembah-lembah, seseorang malah memacu jiwanya untuk lebih dekat dengan Allah SWT.
Untuk melakukan ‘Uzlah kata al-Qusyairi, seseorang harus memantapkan ilmu agamanya dan tauhidnya, agar dalam proses ‘Uzlah tersebut, seseorang tidak tergoda bisikan-bisikan syetan. Biasanya para sufi mengaitkan tradisi ini dengan khalwat dan zuhud. Zuhud sendiri merupakan buah dari ‘Uzlah. Abu Muhammad al-Jurairi ketika ditanya, apa sebenarnya ‘Uzlah itu? Ia menjawab, “Uzlah adalah Anda masuk dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri dari dosa-dosa, sementara batin Anda berhubungan dengan Allah.
‘Uzlah di sini berarti ‘Uzlah Kalbu, agar sejumlah fenomena lahiriah, fenomena kehidupan, sama sekali tidak mengganggu ketentraman hati seseorang, apa pun yang terjadi. ‘Uzlah inilah, yang menciptakan seseorang tetap “sunyi dalam keramaian, dan ramai dalam kesunyian?. Artinya, hati tetap merasa sunyi bersama Allah ketika seseorang berada di tengah hiruk pikuk kehidupan, dan sebaliknya hatinya senantiasa ramai dengan dzikrullah di tengah-tengah kesunyian dirinya.

‘Uzlah itu memang menyendiri, mengesampingkan dari hiruk-pikuk duniawi, ketika seseorang sedang memproses dirinya untuk sampai kepada Allah SWT. Karena itu secara lahiriah, ‘Uzlah perlu dilakukan dengan “menyendiri tanpa diganggu oleh keramaian. Jika hatinya telah mampu, maka baru hatinya yang ‘Uzlah, sementara dhahirnya berada di tengah keramaian.
Menurut pensyarah Al-Hikam, Syekh Zaruq, membagi ‘Uzlah dalam tiga kategori. Pertama, manusia yang ‘Uzlah kalbunya, sementara fisiknya tidak. Inilah yang merupakan eksistensi yang nyata dan perjalanan yang cemerlang. Situasi dan kondisi mistikalnya adalah kondisi manusia-manusia Muttaqin dan telah mencapai keparipurnaan.

Kedua, manusia yang menyendiri dalam fisiknya tetapi kalbunya tidak. Kondisi ini lumayan baik, namun harus memenuhi beberapa syarat, untuk menyongsong arus rahmat Allah dalam kondisinya. Dan ketiga, ada yang ‘Uzlah lahir dan batin. Yaitu mereka yang disebut dengan Al-Mutakhalli atau Takhalli. Kondisi ketiga ini nantinya akan memasuki Tahalli (berias dengan akhlak mulia), dilanjutkan dengan Tajalli (menjadi manifestasi cahaya Ilahi). Kategori manusia yang ‘Uzlah lahir dan batin itu, terbagi pula menjadi tiga:
1. Orang yang ‘Uzlah agar dirinya bisa selamat,
2. Model orang yang ‘Uzlah karena ingin meraih sesuatu, dan
3. Orang yang ‘Uzlah untuk mendapatkan kenikmatan.
Yang pertama harus setelah mengetahui kondisi hatinya, ia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban waktu, di samping ia harus membebaskan diri dari sikap bersu’udhan pada orang lain, siapa pun juga. Syarat kategori kedua, harus menjaga Sunnah Nabi disertai ketekunan beramal dan beribadah. Syarat kategori ketiga, adalah memanifestasikan kondisi mistikal kalbunya serta menjaga dari ucapan-ucapan yang tidak berguna. Wallahu A’lam.
Sementara itu medan kontemplasi yang dimaksud di atas, adalah mengikuti logika perjalanan pemikiran secara positif. Wilayah kontemplasi itu terbagi menjadi empat:

1. Adanya semesta jagad raya ini, menunjukkan adanya Allah, dan Allah adalah Maha Wujud Hakiki, sehingga muncul kesimpulan sikap menetapkan Yang Ada Hanyalah Allah, yang lain hanya ada semu atau tidak ada.
2. Adanya selera syahwat yang menjadi penghalang atau rintangan mencapai tujuan utamanya, karena itu syahwat itu tidak boleh mendapatkan peluang dalam medan kontemplasi.
3. Adanya kealpaan yang bisa memalingkan diri dari hamparan Ilahi, sehingga seseorang bisa waspada dengannya, agar tidak terjebak dalam kealpaan tersebut.
4. Adanya kehampaan dalam aktivitas hidup, dan karena itu jangan sampai menyimpang dari pemahaman yang benar.
Di alam modern, aktivitas yang sangat sibuk, manusia mestinya harus menyisakan waktunya untuk melakukan refleksi setiap hari. Refleksi itu dilakukan dalam ruang ‘Uzlah. Jika ada 24 jam sehari semalam, kita perlu menyisakan waktu, minimal satu jam saja, untuk lepas dari segala aktivitas duniawi. Berdiam diri sembari berkontemplasi akan tujuan utama hidup ini, dengan sejumlah pertanyaan, “Wahai diri, apa sebenarnya yang kamu cari dalam hidup ini? Ke mana hati ini akan menuju? Benarkah apa yang kita lakukan seharian sudah memiliki manfaat untuk dunia akhirat? Sudahkah kita memohon ampunan kepada Allah untuk kesalahan dan dosa kita hari ini? dan seterusnya.
Kelak jika terbiasa, walau pun kita sudah sibuk secara fisik dan fikiran, hati kita tidak terpengaruh. Sebab Kalbu telah melakukan ‘Uzlah maka, di mana pun ia berada dan dalam kondisi apa pun, hatinya tidak terpengaruh. Sebab hatinya tetap istiqamah, ‘Uzlah bersama Allah SWT. Namun semua itu perlu riyadlah atau latihan ruhani.
Sumber :
Al Hikam, Athoillah Syakandari

Nasehat Buat Suami dan Istri


52 Kiat Agar Suami Disayang Isteri

1.       Berhiaslah untuk isteri anda sebagaimana anda senang apabila ia berhias untuk anda.
2.       Merayu isteri dan mencandainya.
3.       Mempergaulinya dengan lemah lembut dan kasih sayang.
4.       Penuhi kesenangannya untuk berbicara dan bercakap-cakap (bercengkerama).
5.       Panggillah isteri dan nama kesukaannya.
6.       Jauhilah sikap emosional dan tempramental.
7.       Berilah isteri anda rasa aman dan tenang.
8.       Membuatnya gembira dengan pemberian yang mengejutkan.
9.       Masuklah ke dalam rumah dengan wajah berseri-seri dan tersenyum.
10.    Berlemahlembutlah dalam berbicara.
11.    Bicarakanlah sesuatu yang menyenangkannya.
12.    Memujinya di hadapan keluarga anda dan keluarganya.
13.    Menghargai penampilannya.
14.    Berikanlah hadiah (romantis) semisal bunga atau selainnya sebagai penguat cinta diantara keduanya.
15.    Hilangkanlah kejenuhan  rutinitas sehari-hari dengan bertamasya (rihlah) atau selainnya.
16.    Terimalah kekurangan-kekurangannya karena tidak ada manusia yang sempurna.
17.    Jagalah diri dari perkara-perkara sepele yang dapat bertumpuk menjadi masalah besar.
18.    Bantulah isteri anda dalam urusan-urusan rumah tangga.
19.    Jangan kikir dengan perasaan anda. Ekspresikan perasaan anda kepadanya dengan kelembutan dan kejujuran.
20.    Hargai akal dan buah pemikirannya.
21.    Selalulah berbaik sangka kepada dirinya.
22.    Bangkitkanlah perasaannya bahwa ia adalah wanita yang ideal bagi anda.
23.    Bantulah ia meningkatkan kemampuannya.
24.    Jagalah perasaannya terutama di saat haidh dan hamil.
25.    Bantulah dirinya di dalam mengurusi anak-anak.
26.    Hormati keluarganya, berbuat baik kepada mereka dan tidak melarangnya untuk mengunjungi keluarganya.
27.    Makan bersama di rumah atau tempat lain yang tenang dan aman dari fitnah.
28.    Berikan pujian dan sanjungan kepada dirinya.
29.    Jagalah rahasianya dan janganlah menyebarkannya.
30.    Jagalah hak-haknya dan janganlah menyia-nyiakannya.
31.    Berbuat adillah kepada dirinya.
32.    Perlakukanlah dirinya dengan baik dan lemah lembut.
33.    Bersikaplah realistis dan jadikanlah dirinya sebagai isteri yang ideal bagi anda.
34.    Bekerja sama dengannya di dalam ketaatan kepada Alloh.
35.    Janganlah anda terlalu sering meninggalkan dirinya dan rumah.
36.    Yang lalu biarlah berlalu dan jangan suka mengungkit-ungkit kesalahan yang telah berlalu.
37.    Jangan memberikan peluang kepada orang lain untuk mencampuri urusan rumah tangga anda.
38.    Jauhi motivasi yang buruk tatkala menikah.
39.    Jagalah kesehatannya secara intensif.
40.    Ajaklah isteri anda ke dalam kebahagiaan anda.
41.    Kirimlah surat kepadanya apabila anda jauh darinya.
42.    Jelas dan tidak tergesa-gesa apabila anda meminta sesuatu padanya sehingga dia faham dan tidak bingung dengan apa yang anda inginkan.
43.    Maklumilah kecemburuannya dan maafkanlah.
44.    Bantulah dirinya di dalam menghadapi persoalan-persoalan yang menyusahkan dan membosankan.
45.    Ikutilah petunjuk Islam ketika isteri anda berpaling.
46.    Jangan menganggap diri anda selalu benar.
47.    Mengikuti petunjuk Islam tatkala melakukan hubungan intim.
48.    Tidak mendatangi isteri dari dubur atau tatkala haidh.
49.    Menjaganya dari pandangan-pandangan jahat manusia.
50.    Memberinya anggaran khusus selain biaya hidup sehari-hari.
51.    Nikmatilah nikmatnya lupa terutama yang berkaitan dengan musibah-musibah yang menyedihkan, kesalahan-kesalahan dan perilaku isteri di masa lalu.
52.    Janganlah anda menunggu-nunggu mukjizat, karena isteri anda adalah unik dengan karakternya dan janganlah anda memaksanya berubah sekehendak anda. Terimalah dirinya apa adanya, tutuplah mata dari kelemahan-kelemahannya dan bukalah mata dari kelebihan-kelebihannya. Insya Alloh isteri anda akan semakin mencintai anda.


Nasehat Bagi Seorang Istri
( Agar anda bahagia dengan suami anda)

1.       Jangan membiarkan suami anda memandang dalam keadaan anda tidak menggembirakannya. Wanita yang paling baik adalah wanita yang selalu membuat suaminya bahagia.
2.       Hendaklah senyum itu senatiasa menghiasi bibirmu setiap anda dipandang oleh sang suami.
3.       Perbanyaklah mencari keridhan suami dengan mentaatinya, sejauh mana ketaatan anda kepada suami, sejauh itu pulalah dia merasakan cintamu kepadanya dan dia akan segera menuju keridhaanmu.
4.       Pilihlah waktu yang tepat untuk meluruskan kesalahan suami.
5.       Jadilah anda orang yang lapang dada, janganlah sekali-kali menyebut-nyebut kekurangan suami anda kepada orang lain.
6.       Perbaikilah kesalahan suami dengan segala kemampuan dan kecintaan yang anda miliki, janganlah berusaha melukai perasaannya.
7.       Janganlah memuji-muji laki-laki lain dihadapan suami kecuali sifat diniyah yang ada pada laki-laki tersebut.
8.       Jangan engkau benarkan ucapan negatif dari orang lain tentang suamimu.
9.       Upayakan untuk tampil di depan suamimu dengan perbuatan yang disenanginya dan ucapan yang disenanginya pula.
10.    Berilah pengertian kepada suami anda agar dia menghormatimu dan saling menghormati dalam semua urusan.
11.    Anda harus selalu merasa senang berkunjung kepada kedua orang tuanya.
12.    Janganlah anda menampakkan kejemuan padanya, jika terjadi kekurangan materi Ingatlah bahwa apa yang ia berikan kepadamu sudah lebih dari cukup.
13.    Biasakanlah anda tertawa bila ia tertawa, menangis dan bersedih jika ia bersedih. Karena bersatunya perasaan akan melahirkan perasaan cinta kasih.
14.    Diam dan perhatikanlah jika ia berbicara.
15.    Janganlah banyak mengingatkan bahwa anda pernah meminta sesuatu kepadanya. Bahkan jangan diingatkan kecuali jika anda tahu bahwa ia mudah untuk diingatkan.
16.    Janganlah anda mengulangi kesalahan yang tidak disenangi oleh suami anda dan ia tidak suka melihatnya.
17.    Jangan lupa bila anda melihat suami anda shalat sunnah di rumah, hendaknya anda berdiri dan ikut shalat dibelakangnya. Jika ia membaca, hendaknya anda duduk mendengarkannya.
18.    Jangan berlebih-l;ebihan berbicara tentang angan-angan pribadi di depan suami, tetapi mintalah selalu agar ia menyebutkan keinginan pribadinya di depanmu.
19.    Janganlah mendahulukan pendapatmu dari pendapatnya pada setiap masalah, baik yang kecil maupun yang besar. Hendaklah cintamu kepadanya mendorong anda mendahulukan pendapatnya.
20.    Janganlah anada mengerjakan shaum sunnah kecuali dengan izinnya, dan jangan keluar rumah kecuali dengan sepengetahuannya.
21.    Jagalah rahasia yang disampaikan kepadamu dan janganlah menyebarkannya sekalipun kepada kedua orang tuanya.
22.    Hati-hati jangan sampai menyebut-nyebut bahwa anda lebih tinggi derajatnya dari derajat suami. Hal itu akan mengundang kebencian kepadamu.
23.    Jika salah satu dari orang tuanya sakit atau kerabatnya, maka anda punya kewajiban untuk menjenguk bersamanya.
24.    Sesuaikanlah peralatan rumah tangga anda dengan barang-barang yang disenangi suami anda.
25.    Jangan sampai anda meninggalkan rumah meskipun sedang bertengkar dengannya.
26.    Katakanlah kejemuan dan kebosananmu ketika ia sudah meninggalkan rumah.
27.    Terimalah udzurnya ketika ia membatalkan janjinya untuk keluar bersamamu, karena mungkin ia terpaksa memenuhi panggilan orang yang datang kepadanya.
28.    Hindari sifat cemburu, sesungguhnya cemburu adalah senjata penghancur.
29.    Janganlah mengabaikan pemimpinmu (suami) dengan alasan bahwa ia telah menjadi suamimu.
30.    Janganlah anda berbicara dengan sang suami, seakan-akan anda suci dan dia berdosa.
31.    Jagalah perasaannya, jangan gembira ketika dia sedang sedih dan jangan menangis ketika dia gembira.
32.    Perbanyaklah menyebut-nyebut keutamaan suami di hadapannya.
33.    Perlihatkan kepada suamimu bahwa anda turut merasakan apa yang dirasakan sang suami tatkala ia tidak berhasil mencapai maksud dan tujuannya.
34.    Perbaharuilah (tekad suami) ketika terjadi kegagalan.
35.    Jauhilah sifat dusta karena hal itu akan menyakitkannya.
36.    Ingatkanlah selalu pada suamimu bahwa anda tidak tahu (bagaimana nasib anda) seandainya anda tidak dipersunting olehnya.
37.    Ucapkanlah rasa syukur dan terima kasih pada waktu ia memberikan sesuatu kepadamu.

Sumber :
2.      “Nasehat kepada para Muslimah”, bagian kedua, Fathi Majdi as-Sayyid. Penerjemah:Muzaidi Hasbullah, Lc,dkk.Penerbit: Pustaka Arafah, Cetakan I: April 01/Muharram 1422H, hal.66-70 oleh Ibnu Tumingan [ibnu_tumingan@yahoo.com]  Fri Jul 27, 2001