Wednesday, October 10, 2012

6 Penjara Bagi Manusia


Manusia sebenarnya sudah harus menjalani 6 penjara. Penjara itu yang menjerat manusia sehingga dia terbuai dengan penjara dan pengekang untuk dapat menuju kehadirat ilahi. Berbeda dengan penjara buatan manusia atau pemerintah, Penjara manusia ini kadang justru mengenakkan dan mengasyikkan. Keenam penjara ini akan membelenggu manusia untuk bisa lebih mendekat kepada Alloh SWT.

Peringkat penjara pertama ialah membebaskan diri dari cengkraman penjara alam jasad. Penjara alam jasad ialah hawa nafsu. Didalam penjara hawa nafsu ini tersedia berbagai-bagai hidangan yang lazat-lazat seperti kekuasaan, kemegahan, kemuliaan, pujian, ujub, ria, tamak, dengki dan lain-lain. 

Jika mau melepaskan diri dari penjara ini hendaklah berpuasa dari semua makanan yang dihidangkan. Jangan diajak bercakap tentang makanan tersebut karena jika dibawa kepada perbincangan akan mendatangkan selera. Sembunyikan selera dan lapar walaupun perut bergelora. Sambutlah setiap hidangannya dengan menggelengkan kepala dan palingkan muka ke arah lain. Apabila makanannya tidak dijamah, hawa nafsu tidak ada kuasa lagi memenjarakan seseorang itu. Bebaslah dia keluar dari penjara tersebut.

Setelah keluar dari penjara nafsu seseorang itu berhadapan pula dengan penjara ke 2 yakni penjara dunia. Penjara dunia memamerkan berbagai jenis keindahan dan menjanjikan keabadian. Dunia telah menghidangkan apa saja yang menyenangkan dan mengeluarkan air liur. 
Di dalam penjaranya seseorang dibenarkan melakukan apa saja, menikmati apapun hidangannya tanpa pantangan dan larangan. Di dalam penjara dunia ini seseorang dikurung didalam bilik yang bernama syahwat. 

Kaki dan tangannya dirantai dengan rantai yang bernama kelalaian. Matanya ditutup dengan penutup yang bernama panjang angan-angan. Didalam penjara ini makanan hawa nafsu masih lagi dihidangkan karena dunia dan hawa nafsu senantiasa bekerjasama. Oleh karena itu setelah berpuasa dari hidangan hawa nafsu seseorang itu perlu pula mendapatkan alat memutuskan rantai yang mengikatnya dan merobohkan dinding penjara tersebut. Alatnya ialah ingat kepada mati dan pembalasan selepas kematian. Inilah alat yang dapat membebaskan seseorang dari penjara dunia.

Setelah keluar dari penjara dunia seseorang itu akan masuk kedalam penjara tingkatan ke 3 yaitu yang disebut penjara akhirat. Hidangan didalam penjara ini ialah pahala, syurga dan bidadari. Rantai yang mengikat seseorang didalam penjara ini ialah kehendak atau keinginan atau lebih tepat jika dipanggil kesadaran terhadap diri sendiri. Perhatian kepada diri sendiri yang melakukan amal kebaikan menjadikan seseorang lebih terikat didalam penjara akhirat. 
Kendaraan yang dapat membawanya keluar ialah ilmu, yaitu ilmu yang dapat melepaskan seseorang dari bersandar kepada amalnya dan melihat bahwa amal kebaikan yang keluar dari dirinya adalah kurnia Allah SWT semata-mata. Tanpa kurnia rahmat dan petunjuk dari Allah SWT niscaya tidak akan ada kebaikan pada dirinya. Apabila seseorang telah kuat berpegang kepada kurnia Allah SWT dia akan bebas dari penjara akhirat.

Setelah selamat dari penjara akhirat seseorang itu akan masuk pula ke dalam penjara tingkatan ke 4 yaitu penjara alam malaikat, yaitu penjara alam maujud yang terakhir. Hidangan di dalam penjara ini ialah kedekatan dan kemuliaan disisi Allah SWT. Rantai pengikat ialah sisa-sisa kehendak diri sendiri dan kesadaran terhadap diri sendiri yang menerima kurnia Allah SWT. Pada peringkat ini perlulah dihapuskan seluruh kehendak, cita-cita, angan-angan, harapan, hajat, fikiran dan segala yang maujud. Apabila kefanaan dari semua yang maujud dicapai, dapatlah dia keluar dari penjara malaikat.

Setelah berhasil keluar dari semua jenis penjara alam, seseorang itu masuk kedalam penjara ke 5 yaitu penjara ilmu tentang Allah SWT. Ilmu Allah SWT  bukanlah alam, tetapi adalah hal ketuhanan sendiri. Hidangan di dalam penjara ini ialah rahasia yang ghaib tentang hukum Allah SWT  di dalam alam. Dalam suasana Ilmu Allah SWT  inilah dapat dilihat dari penetapan Ilahi yang menggerakkan alam maya dan semua kejadian yang berlaku di dalamnya. Oleh sebab Ilmu tentang Allah SWT sangat luas dan tiada batas sempadan maka penjaranya juga tidak ada sempadan. Barangsiapa yang asyik dengan berbagai ilmu yang terdapat didalamnya akan terpenjara selama-lamanya disini, karena jika mau dikaji Ilmu Allah SWT  niscaya seseorang itu akan mati dahulu sebelum sempat mengkaji sebesar zarah dari Ilmu-Nya. Seseorang yang mau lepas dari penjara ini hendaklah menjadikan ilmu ini sebagai kendaraan bukan tujuan. Ilmu bukanlah mahkota untuk dijunjung tetapi ia adalah alat untuk berjalan. Apabila ilmu dilayani dengan adil yaitu meletakkannya pada tempat yang patut baginya, dapatlah seseorang itu bebas dari tawanannya.

Bila keluar dari penjara ilmu, diri akan masuk ke dalam penjara ke 6 yaitu penjara makrifat. Ia adalah penjara yang paling kukuh. Ilmu Allah dan makrifatullah bukan lagi alam maujud. Apa yang didapati pada kedua-duanya adalah hakikat-hakikat atau hal-hal ketuhanan.

Paling tinggi pencapaian ilmu tentang Allah SWT  ialah: Tidak tahu dan tidak dapat dikatakan apa-apa, karena tiada sesuatu menyamai-Nya, menyerupai-Nya atau dapat diibaratkan bagi-Nya. Pada martabat makrifat yang paling tinggi pencapaiannya ialah: Zat diri-Nya tidak dapat dikenal oleh siapapun. Dia kini adalah sebagaimana Dia dahulu, bahkan tidak ada kini dan tidak ada dahulu pada-Nya.

Percobaan untuk mengenal diri Allah SWT  lebih dari itu adalah sia-sia. Jika dicoba juga maka hasilnya adalah tidak ada apa apa yang akan didapati. Barangsiapa yang sampai kepada makom makrifat janganlah tinggal terpenjara didalamnya. Keluarlah dari makrifat barulah dapat sampai ke Hadirat Allah SWT.

Tajrid atau penanggalan secara keseluruhannya dari segala-galanya adalah syarat untuk bertemu dengan Allah SWT. Seseorang hendaklah melepaskan ilmu pengetahuannya, amal perbuatannya, makrifatnya, sifatnya, namanya dan semua maklumat, dengan demikian dia bertemu dengan Allah SWT  seorang diri tanpa bekal apapun. Dia hendaklah melihat datangnya hidayat dan kemurahan Allah SWT, bukan hasil dari amal dan ilmunya. Tinggalkan segala-galanya dan masuklah kepada Hadirat Allah SWT.
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan: “Roh itu dari perkara urusan Tuhanku; dan kamu tidak diberikan ilmu pengetahuan melainkan sedikit saja”. ( Ayat 85 : Surah al-Israa’ )
Apa yang kita tidak mengerti dan tidak mempunyai ilmu tentangnya kecuali terlalu sedikit ialah roh.
Serta Aku tiupkan padanya roh dari (ciptaan)-Ku. ( Ayat 72 : Surah Saad)
Roh yang terkait atau dinisbahkan kepada Allah SWT  itulah yang menghadap kepada Allah SWT  dan yang dapat masuk ke Hadrat Allah SWT. Roh adalah urusan Allah SWT. Bagaimana roh masuk ke Hadirat Allah SWT itu juga urusan Allah SWT, kita tidak diberi ilmu tentangnya kecuali  teramat sedikit. Pengetahuan yang sedikit itu ialah: “URUSAN ALLAH SWT !!!”  Jangan dipersoalkan dan diusut lagi. Allah SWT adalah puncak segala tujuan, penghabisan segala perjalanan dan tumpuan semua permintaan.(Al Hikam 50)

Sangsi Bagi Penghina Nabi Muhammad SAW


Sangsi Bagi Penghina Nabi Muhammad SAW

Penistaan terhadap Rasulullah SAW seakan tiada hentinya. Kasus demi kasus bermunculan silih berganti. 

Di Belanda, ada film berbau SARA yang merendahkan ajaran Islam beserta Muhammad dengan judul “Fitna”, begitu juga kasus kartun Nabi di Denmark. 

Paling anyar, tentunya ialah penghinaan Rasulullah yang dilakukan oleh Sam Bacile, lewat film kelas teri, “The Innocence of Muslims”.

Kasus terakhir ini terbilang paling heboh. Bukan karena kualitas filmnya, melainkan dampak yang diakibatkan setelah diunggahnya film tersebut di Youtube dan media sosial lainnya. Aksi protes meledak di berbagai belahan dunia. 

Tak ada jaminan, tindakan serupa tidak terulang pada kemudian hari. Ini lantaran tidak ada peraturan dan kesepakatan internasional soal kejahatan menghina Rasulullah atau simbol-simbol agama yang disucikan. Rentetan kejadian ini menarik perhatian sejenak untuk menengok polemik penghinaan Rasulullah di era klasik.

Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab, melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub An-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain Al-Fiqh Al-Islami wa Al-Qanun Ad- Dauli”, memaparkan persoalan ini secara terperinci dan penyikapan para ulama salaf. 

Mereka sepakat satu hal, yaitu bila pelaku adalah Muslim, ia bisa dinyatakan murtad dan mesti dibunuh. Pendapat ini adalah pernyataan para ulama, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Laits, Ahmad, Syafi’i, dan Ishaq. Konsensus ini ditegaskan oleh Abu Bakar ibn Al-Mudzir dan Abu Sulaiman Al-Khutabi.


Kesepakatan ini dilandasi dasar dan argumentasi yang kuat. Larangan untuk menyudutkan Rasulullah itu tertuang, antara lain, dalam ayat 57 Surah Al-Ahzab, Adz-Dzariyaat ayat ke-10, dan Al-Munafiquun ayat 4. 

Ini diperkuat dengan hadis-hadis Rasulullah yang melarang cacian dan ejekan terhadapnya. Misalnya saja, riwayat Al-Hakim yang mengisahkan tentang perintah membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf. 

Instruksi itu menyusul ejekan dan hinaannya terhadap Rasulullah. Kasus dan sanksi serupa juga dijatuhkan terhadap pelaku penistaan ketika peristiwa penaklukan Makkah. Kisah ini seperti dinukilkan oleh Bukhari dan Muslim.

Pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku penistaan juga berlangsung pada masa kekhalifahan. Suatu saat, Harun Ar-Rasyid meminta fatwa ke Imam Malik bin Anas yang berada di Tanah Hijaz, Madinah, perihal sanksi bagi seseorang yang telah mencaci Rasulullah.

Sang Khalifah menceritakan para ahli fikih di Irak memberi fatwa, yaitu pelaku hanya dijatuhi hukuman cambuk. Tak elak, pendapat ini menyulut kemarahan Imam Malik. 

Menurut dia, siapa pun yang menghina Rasulullah maka harus dibunuh. Sedangkan mereka yang merendahkan sahabat cukup dicambuk. “Wahai pemimpin Mukminin, apa jadinya umat bila Nabi mereka sendiri telah dihina?”

Sikap tegas terhadap para penista Nabi ditunjukkan pula oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketegasan itu bisa dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang dilayangkan oleh pejabat pemerintah di Kufah. 

Ketika itu, bawahannya menanyakan hukum mereka yang telah mencaci Umar bin Khatab. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menjawab, haram hukumnya membunuh sesama Muslim yang mencaci seseorang, kecuali bila yang dihina Rasulullah. “Jika demikian, halal darahnya,” katanya.


Tidak gugur
Muncul pertanyaan, bagaimana bila pelaku bertobat setelah perbuatannya itu? Apakah tobatnya akan diterima lantas menggugurkan sanksi di dunia? 

Guru Besar Adab di Universitas Manovea, Mesir, ini mengatakan ulama sepakat, tobat nasuha akan bermanfaat baginya kelak di akhirat. Tetapi, apakah kemudian menghindarkannya dari hukuman mati?

Para ulama berbeda pendapat. Menurut mayoritas ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, tobatnya tersebut tidak berpengaruh apa pun pada sanksi di dunia. 

Ia tetap harus menjalani hukuman mati. Mereka beranggapan, sebagaimana hukuman lain di dunia, maka sanksi itu tak lantas otomatis gugur dengan tobat pelaku.

Sedangkan kelompok yang kedua berpandangan, mereka yang telah menghina Rasulullah dari kalangan Muslim lalu bertobat dengan sebenar-benar tobat maka sanksi itu gugur. 

Ia tak perlu dibunuh. Opsi ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi, Syafi’i di salah satu riwayat pendapatnya yang lemah, dan sebagian kecil Mazhab Hanbali.

Mereka berasumsi, bila seorang non-Muslim menistakan Rasulullah, lalu ia masuk Islam dan bertobat saja mendapat dispensasi tidak dibunuh, tentunya ketentuan yang sama pantas berlaku bagi seorang Muslim yang bertobat.



Kasus penghinaan Rasulullah SAW kerap terjadi di negara-negara Barat dan tentunya oleh pelaku yang didominasi dari kalangan non-Muslim. 

Islam memberikan sanksi tegas bagi Muslim yang menghina simbol kesucian agama-dalam konteks ini ialah melecehkan Nabi. 

Bila terbukti dan ada unsur kesengajaan, maka ia harus menanggung akibatnya berupa hukuman mati. Bagaimana jika penghina ialah non-Muslim? Apakah akan diperlakukan sama?

Prof Hasan As-Sayyid Hamid Khitab melalui makalahnya yang berjudul “Jarimat Sub an-Nabi Muhammad SAW wa Uqubatuha Bain al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun ad-Dauli” mengupas hukum penistaan terhadap Nabi oleh non-Muslim.

Istilah yang ia gunakan untuk kelompok ini lebih terperinci, yaitu ahlu ad-dzimmah (Nasrani dan Yahudi) atau golongan lainnya yang berdomisili di wilayah Islam.

Para ulama sepakat, non-Muslim yang menghina Rasulullah harus dihukum. Namun, hukuman seperti apa yang mesti dijatuhkan kepada pelaku? Mereka berselisih pandang. Ada dua pendapat ulama menyikapi kasus ini.

Kelompok yang pertama menyatakan pelecehan terhadap Nabi, apa pun itu bentuknya, entah menghina kehormatan, merendahkan kemuliaan, atau mendiskreditkan sosok Rasulullah, maka yang bersangkutan pantas dibunuh. Alasannya cukup jelas, melecehkan Rasulullah tidak termasuk nota kesepakatan dan kesepahaman tanggungan (dzimmah).

Imam Al-Jashsash dari Mazhab Hanafi mengatakan, bila Muslim melecehkan Nabinya, maka ia tidak diampuni dan wajib dibunuh. Hukuman serupa laik diterima oleh non-Muslim, seperti Yahudi dan Nasrani. (baca: Sanksi Bagi Penghina Rasulullah-3).

Menurut Imam Syafi’i, orang kafir yang telah merendahkan Alquran dan Muhammad SAW, maka ia dianggap telah merusak kesepakatan bersama dan halal darahnya. 

Tak ada lagi tanggung jawab sebagai warga yang berhak atas perlindungan. Mereka berargumen dengan beberapa dalil, antara lain ayat 12 Surah at-Taubah: 

“Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.”

Sebuah riwayat dari Ali bin Abi Thalib dalam Sunan Abu Daud juga menguatkan pendapat ini. Ketika itu, seorang perempuan mencaci maki Rasulullah. 

Seorang sahabat tidak bisa menerima perlakuan keji itu, lalu ia pun mencekik leher pelaku hingga mati. Instruksi untuk membunuh Ka’ab bin Al-Asyraf dalam Sunan An-Nasai, termasuk dalil utama kalangan ini.

Abdullah bin Umar pernah mendapat laporan tentang seorang pendeta yang menghujat Nabi. Ibn Umar mengatakan, seandainya ia mendengar langsung hujatan tersebut maka ia akan membunuhnya. Karena, perjanjian perlindungan dan perdamaian yang disepakati bukan untuk melecehkan Rasulullah.

Pendapat yang kedua menegaskan bahwa para penghina Rasulullah dari non-Muslim tidak perlu dibunuh karena penyekutuan atas Tuhan sudah cukup memiliki dampak hukum yang besar. Kubu ini berpendapat, mereka hanya perlu dijebloskan ke penjara atau diasingkan.

Pandangan ini merupakan representasi dari Abu Hanifah, At-Tsauri, dan pengikut keduanya dari para ahli fikih asal Kufah.

Argumentasi mereka ialah hadis riwayat Bukhari dari Aisyah. Riwayat itu mengisahkan, Rasulullah tidak bersikap keras atas cacian Yahudi. Ini terjadi pada peristiwa keberadaan racun dalam makanan. 

Rasulullah, seperti dinukilkan dari Anas bin Malik, menolak membunuh perempuan Yahudi yang menghidangkan kambing beracun.

Syahadat

Prof Hasan memaparkan sebuah jawaban atas persoalan, yakni apakah sanksi tersebut akan gugur secara otomatis bila pelaku menyatakan masuk Islam? 

Ia menjawab, terjadi silang pendapat antar ulama. Menurut kelompok yang pertama, hukuman tersebut batal dengan sendirinya jika si pelaku menyatakan memeluk Islam. 

Ini disuarakan oleh Mazhab Hanafi dan riwayat populer dari Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

Lanjutan pernyataan Abdullah bin Umar di atas menambahkan, bila penghina bersyahadat maka ia tidak dibunuh. Ini sesuai juga dengan seruan ayat 38 Surah Al-Anfal:
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu’.”

Sedangkan, pendapat yang kedua mengatakan, Islamnya pelaku tidak menggugurkan sanksi. Bila Muslim menistakan Nabinya saja dihukum mati, apalagi ini non-Muslim. 

Keislamannya pun tak berpengaruh apa pun. Pandangan ini merupakan aspirasi bagian kecil Mazhab Maliki dan Hanbali.

Diskusi perihal penistaan Rasulullah dalam fikih klasik menjadi rujukan penting bagi sejumlah lembaga fatwa negara-negara Islam di era modern. Berbagai institusi fatwa resmi tersebut merujuk keputusan mereka ke ragam fatwa yang terdapat di banyak literatur. 

Kesimpulan sama persis berkaitan dengan penghina Rasulullah dengan ketentuan serupa diadopsi, antara lain oleh Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi, Komite Syariat Dai dan Ulama Sudan, Lembaga Fatwa, Mesir, serta Dewan Fatwa Tertinggi Irak.
Sumber : Republika