Sunday, July 26, 2009

Bergembira

Mari bergembira

Attakatsur

  1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (QS. 102:1)
  2. sampai kamu masuk ke dalam kubur. (QS. 102:2)
  3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), (QS. 102:3)
  4. dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. (QS. 102:4)
  5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, (QS. 102:5)
  6. niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam, (QS. 102:6)
  7. dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yakin (QS. 102:7)
  8. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang keni'matan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. 102:8)

Thursday, July 16, 2009

Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dan Nabi



Di antara nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala yang diberikan kepada Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah dua keutamaan: Kebaikan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Secara lahiriah, Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah seorang pemuda yang sangat tampan, dan secara batiniah beliau memiliki akhlak yang sangat mulia. Dengan dua hal ini, Nabi Yusuf ‘alaihissalam senantiasa bersabar ketika menjalani ujian-ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala, termasuk ketika digoda oleh wanita cantik dari kalangan bangsawan.

Kisah ini adalah kisah paling menakjubkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkannya secara lengkap dan memaparkannya dalam satu surat khusus secara terperinci dan jelas. Membaca surat ini saja sudah cukup sehingga tidak butuh penafsiran. Dan dalam surat ini (Surat Yusuf), Allah Subhanahu wa Ta'ala menguraikan keadaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam mulai dari awal hingga akhir kisah. Lengkap dengan peralihan tempat kejadian, pergantian situasi dan keadaan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَقَدْ كَانَ فِي يُوْسُفَ وَإِخْوَتِهِ آيَاتٌ لِلسَّائِلِيْنَ

“Sesungguhnya ada beberapa tanda kekuasaan Allah pada (kisah) Yusuf dan saudara-saudaranya bagi orang-orang yang bertanya.” (Yusuf: 7)
Akan kami sebutkan beberapa faedah penting yang disimpulkan dari sejarah besar ini. Dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, kami memulainya.

Beberapa Pelajaran Penting dari Kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam
Kisah ini merupakan kisah yang paling baik dan jelas. Di dalamnya dipaparkan berbagai peralihan dari suatu keadaan kepada keadaan lainnya; dari satu ujian ke ujian berikutnya, dan dari sebuah ujian kepada karunia yang besar, dari kehinaan kepada derajat kemuliaan, dari rasa aman kepada rasa takut dan sebaliknya, dan seterusnya. Maha Suci Allah yang telah menceritakan hal ini dan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi mereka yang bisa menggunakan akalnya. Di antara pelajaran tersebut adalah:
1. Diterangkan dalam kisah ini berbagai landasan pokok tentang ta’bir atau tafsir mimpi. Ilmu ta’bir mimpi ini adalah ilmu yang cukup penting yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Dan umumnya, hal-hal yang berkaitan serta dijadikan permisalan (tamtsil) dan penyerupaan adalah tentang sifat atau keadaan.
Dengan demikian, maka sisi keterkaitan mimpi Nabi Yusuf ‘alaihissalam, di mana beliau melihat matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud kepadanya adalah sebagai berikut: Semua ini adalah benda-benda yang menghiasi langit, yang mempunyai berbagai manfaat. Begitu pula halnya para nabi, ulama, orang-orang pilihan, mereka adalah perhiasan di muka bumi. Dengan perantaraan mereka, seseorang akan terbimbing dalam kehidupannya di bumi sebagaimana dia terbimbing pula dengan cahaya dari langit (angkasa raya).
Ayahnya (Nabi Ya’qub ‘alaihissalam) dan ibunya adalah sumber (asal), sedangkan saudara-saudaranya adalah cabang (furu’). Maka sangat sesuai jika bentuk dan cahaya asal atau sumber lebih besar daripada cabang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa matahari atau bulan adalah permisalan bagi ayah atau ibunya. Bintang-bintang menggambarkan saudara-saudaranya. Dan menyangkut hal ini, bahwa orang yang bersujud menunjukkan penghormatannya kepada yang dia sujudi. Dan yang menerima sujud ini, dia diagungkan lagi dihormati. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Yusuf ‘alaihissalam menjadi seorang yang diagungkan dan dihormati oleh kedua ibu bapaknya serta saudara-saudaranya.
Namun hal ini tidak akan sempurna kecuali dengan beberapa pendahuluan yang menggiring kepada semua perkara ini. Di antaranya adalah ilmu dan amalan serta sebagai pilihan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:

وَكَذلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ

“Dan demikianlah Rabbmu, telah memilihmu.” (Yusuf: 6)
Terkait dengan mimpi kedua pemuda yang dipenjara bersama Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau menta’birkan (menafsirkan) mimpi seorang di antara mereka yang memeras anggur. Dan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukan pekerjaan ini biasanya adalah pelayan bagi orang lain. Juga kenyataan bahwa perasan anggur itu untuk orang lain, sedangkan pelayan biasanya mengikuti yang dilayani. Atau dapat pula ditakwilkan memeras anggur di sini dengan memberi minum, yang juga menunjukkan pelakunya adalah pelayan bagi orang lain. Oleh sebab itulah beliau menakwilkannya kepada hal yang sesuai.
Adapun mimpi orang yang melihat dirinya membawa roti di atas kepalanya dan sebagiannya dimakan oleh burung, beliau menakwilkan bahwa dia akan dibunuh dan disalib sehingga burung memakan otaknya.
Lalu beliau menafsirkan mimpi Raja Mesir yang melihat beberapa ekor sapi dan butir-butir gandum sebagai masa-masa subur dan paceklik. Hubungannya adalah bahwa melalui raja itulah terikatnya segala persoalan kemaslahatan rakyat. Apabila rajanya baik maka baik pula urusan rakyat, dan apabila rajanya buruk (akhlaknya) urusan rakyatnya juga akan rusak. Inilah hubungan ketika dia melihat mimpi itu.
Apalagi tahun-tahun kesuburan dan paceklik terkait dengan keteraturan kehidupan atau tidaknya. Sapi termasuk alat untuk membajak tanah dan mengolah pertanian. Di sini terlihat adanya sebab dan akibat. Dalam mimpi itu terlihat pula 7 ekor sapi gemuk dan 7 ekor sapi kurus, 7 tangkai gandum yang hijau dan 7 tangkai yang kering. Maksudnya, tentu akan ada 7 tahun yang subur yang disusul 7 tahun kekeringan. Apa yang didapatkan dari pertanian diambil dan tidak disisakan kecuali sedikit yang mereka simpan.
Kalau dikatakan darimana diambil pengertian ayat:

ثُمَّ يَأْتِي مِنْ بَعْدِ ذلِكَ عَامٌ فِيْهِ يُغَاثُ النَّاسُ وَفِيْهِ يَعْصِرُوْنَ

“Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dan di masa itu mereka memeras anggur.” (Yusuf: 49)
Karena beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa ini adalah tambahan dari Nabi Yusuf ‘alaihissalam dalam menerangkan takwil mimpi menurut wahyu yang diterimanya?
Jawabnya: Persoalannya tidaklah demikian. Sesungguhnya perkataan tersebut juga diucapkan berdasarkan mimpi raja itu. Karena masa-masa kekeringan hanya 7 tahun. Ini menunjukkan akan datang sesudahnya tahun-tahun kesuburan penuh keberkahan, yang akan menghapus kekeringan yang terjadi pada masa paceklik yang tidak dapat terhapus oleh masa-masa subur yang biasa. Namun hanya akan hilang dengan masa subur yang luar biasa keadaannya. Ini sangat jelas dan termasuk mafhum al-’adad (dikaitkannya suatu hukum dengan jumlah tertentu, ed).
2. Di dalamnya terdapat dalil atau bukti tentang kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yaitu dengan diceritakannya sejarah ini secara terperinci dan panjang lebar kepada beliau sesuai kenyataan, yang mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Padahal beliau tidak (bisa) membaca kitab orang-orang terdahulu. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah belajar kepada seorangpun, sebagaimana yang jelas diketahui oleh kaumnya. Beliau sendiri adalah seorang ummi, tidak pandai membaca dan menulis. Sebab itulah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ذلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوْحِيْهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوا أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُوْنَ

“Demikian itu di antara berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), padahal kamu tidak berada di sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya dan mengatur tipu daya.” (Yusuf: 102)
3. Sepantasnya seorang manusia menjauhi faktor-faktor atau jalan yang mendorongnya kepada kejahatan. Dan hendaknya dia menyembunyikan hal-hal yang dikhawatirkan menimbulkan kemudaratan bagi dirinya. Sebagaimana perkataan Nabi Ya’qub kepada Yusuf dalam kisah ini:

لاَ تَقْصُصْ رُؤْيَاكَ عَلَى إِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوا لَكَ كَيْدًا

“Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, maka mereka akan membuat makar terhadapmu.” (Yusuf: 5)
4. Bolehnya menerangkan sesuatu yang tidak menyenangkan kepada seseorang dengan jujur dan sebagai nasehat bagi dirinya dan orang lain yang terkait. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang ucapan Nabi Ya’qub:

فَيَكِيْدُوا لَكَ كَيْدًا

“Maka mereka akan membuat makar terhadapmu.” (Yusuf: 5)
5. Bahwa kenikmatan yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada seseorang adalah nikmat pula bagi orang-orang yang berkaitan atau berhubungan dengannya, baik keluarga, kerabat, ataupun sahabat-sahabatnya. Tentunya semua itu mencakup atau meliputi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَعَلَى آلِ يَعْقُوْبَ

“Dan disempurnakan-Nya nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya’qub.” (Yusuf: 6)
Yaitu dengan semua yang engkau terima. Oleh karena itu, ketika nikmat itu semakin sempuna dirasakan oleh Nabi Yusuf, keluarga Nabi Ya’qub juga mendapatkan kemuliaan, kekuasaan dan kegembiraan. Hilanglah hal-hal yang tidak menyenangkan yang selama ini mereka rasakan dengan munculnya hal-hal yang menyenangkan sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di akhir kisah ini.
6. Nikmat paling besar yang dianugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia adalah nikmat diniyah (agama Islam). Dan semua itu harus ada sebab-sebab yang mendahuluinya serta jalan-jalan yang membawa kepada kenikmatan ini. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala –Yang Maha Memiliki hikmah dan mempunyai sunnah (aturan) yang tidak berubah– telah menetapkan bahwa cita-cita yang tinggi tidak mungkin tercapai kecuali dengan sebab yang bermanfaat. Khususnya dalam hal ini adalah ilmu bermanfaat berikut cabang-cabangnya, seperti akhlak dan perbuatan. Oleh karena itulah Nabi Ya’qub mengetahui bahwa Yusuf telah mencapai kedudukan yang mulia ini, di mana ayah ibunya serta saudara-saudaranya tunduk hormat kepadanya. Semua ini sudah tentu dengan kemudahan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada Nabi Yusuf untuk menempuh sebab atau jalan menuju derajat yang tinggi ini. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَكَذلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيْلِ اْلأَحَادِيْثِ وَيُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ

“Dan demikianlah Rabbmu, telah memilih kamu dan mengajarkan kepadamu sebagian takwil mimpi dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu.” (Yusuf: 6)
7. Sikap adil adalah perkara yang sangat dituntut dalam setiap permasalahan. Dalam masalah hubungan penguasa dan rakyatnya, kedua orang tua dengan anak-anaknya, hak-hak para isteri, dan lain-lain yang juga berkaitan dengan hubungan kasih sayang dan itsar (mengutamakan orang lain). Menegakkan keadilan dalam setiap permasalahan ini akan berbuah keserasian semua persoalan besar dan kecil sekaligus akan mendatangkan segala sesuatu yang disenangi.
Sebaliknya, apabila keadilan itu tidak ada, jelas akan menyebabkan kerusakan dan hal-hal yang tidak menyenangkan tanpa terasa. Karena itulah ketika Nabi Ya’qub ‘alaihissalam melebihkan rasa kasih sayangnya terhadap Yusuf menimbulkan ketidaksenangan pada saudara-saudara Yusuf terhadap ayah dan saudara mereka ini.
8. Peringatan keras tentang bahayanya dosa. Betapa banyak dosa yang melahirkan dosa-dosa berikutnya. Perhatikan kejahatan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf. Mereka ingin memisahkan Yusuf dari ayahnya, dan ini adalah suatu kejahatan. Kemudian mereka melancarkan berbagai muslihat. Mereka berdusta hingga beberapa kali, misalnya dengan menunjukkan baju Nabi Yusuf yang berlumur darah palsu kepada Ya’qub. Juga ketika mereka pulang sore hari sambil menangis. Jelas bahwa ucapan-ucapan yang terdapat dalam kasus ini berantai dan berbelit-belit.
Bahkan tidak jarang hal ini berlanjut ketika mereka berkumpul dengan Yusuf dan setiap kali membahas masalah ini. Namun semuanya adalah dusta dan palsu, dengan musibah yang terus menimpa Nabi Ya’qub serta Nabi Yusuf. Maka hendaklah seorang manusia berhati-hati dari perbuatan dosa, terutama dosa yang datang susul menyusul.
Lawan dari ini semua adalah sebagian ketaatan, yang merupakan satu ketaatan, akan tetapi manfaatnya berkelanjutan. Demikian pula berkahnya. Bahkan semua ini dapat dirasakan tidak hanya oleh pelakunya, tapi juga oleh orang lain. Semua ini merupakan pengaruh paling besar dari berkah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada seseorang baik dalam ilmu dan amalannya.
9. Pelajaran berharga bagi seorang hamba bergantung kepada kesempurnaan di akhir perjalanan, bukan pada kekurangan yang ada di awalnya. Begitu pula halnya anak-anak Nabi Ya’qub ‘alaihissalam. Terjadi berbagai kekeliruan di awal kisah kehidupan mereka. Kemudian semua itu berujung pada taubat nashuha (taubat yang benar), pengakuan yang tulus, dan pemaafan yang sempurna dari Yusuf dan ayah mereka, serta doa kebaikan dan ampunan serta rahmat bagi mereka. Kalau seorang manusia telah memberikan keringanan atau memaafkan seseorang berkaitan dengan suatu hak tertentu, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih berhak berbuat demikian. Dan Dia adalah Sebaik-baik Yang Penyayang lagi Maha Pengampun.
Oleh karena itulah yang paling benar dari semua pendapat yang ada bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan mereka sebagai nabi dengan menghapus semua kekeliruan yang telah mereka lakukan. Seakan-akan pernyataan ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَإِسْمَاعِيْلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَاْلأَسْبَاطِ

“Dan (beriman) pula dengan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan al-asbath.” (Ali ‘Imran: 84)
Al-Asbath adalah anak-anak Ya’qub yang duabelas orang dan anak cucu mereka. Pendapat ini diperkuat dengan mimpi yang dilihat Nabi Yusuf bahwa mereka adalah bintang-bintang, yang mempunyai cahaya dan petunjuk. Semua ini adalah sifat-sifat yang juga terdapat pada diri para nabi. Seandainya mereka bukan tergolong nabi, mereka adalah para ulama di kalangan hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.
10. Dalam kisah ini diterangkan betapa besar anugerah yang Allah Subhanahu wa Ta'ala berikan kepada Yusuf berupa ilmu, hilm (kelemahlembutan/tidak tergesa-gesa), akhlak yang mulia, berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kepada agama-Nya. Juga pemberian maaf yang segera dilakukannya terhadap saudara-saudaranya yang bersalah. Hal itu semakin lengkap ketika beliau mengatakan bahwa tidak ada cercaan atas mereka sesudah pemaafan ini. Kemudian kebajikannya yang besar kepada kedua ibu bapaknya, limpahan kebaikannya kepada saudara-saudaranya serta makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala pada umumnya. Semua ini sangat jelas tergambar dalam sejarah hidup Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
11. Sebagian kejahatan lebih ringan dari yang lain. Menempuh suatu kemudaratan yang lebih ringan dari dua mudarat yang ada jelas lebih utama. Maka tatkala saudara-saudara Nabi Yusuf mengatakan (dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala):

اقْتُلُوا يُوْسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا

“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah.” (Yusuf: 9)
Lalu ada yang memberikan saran (dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala):

لاَ تَقْتُلُوا يُوْسُفَ وَأَلْقُوْهُ فِي غَيَابَةِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِيْنَ

“Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi lemparkanlah dia ke dasar sumur supaya dipungut oleh sebagian musafir, kalau kamu hendak berbuat.” (Yusuf: 10)
Tentunya perkataan ini lebih baik dari pendapat yang lain dan lebih ringan. Sehingga berdasarkan hal ini pula menjadi ringan pula dosa mereka. Ini merupakan sebagian dari sebab atau jalan yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala takdirkan bagi Nabi Yusuf untuk mencapai derajat yang diinginkan.
12. Segala sesuatu yang diperoleh dari suatu usaha dan menjadi bagian dari harta, namun orang-orang yang mengusahakannya tidak mengetahui bahwa itu tidak dilandasi syariat, maka tidak ada dosa bagi yang langsung memperjualbelikannya, memanfaatkan, atau menggunakan untuk suatu kepentingan. Dalam kisah ini, boleh dikatakan Nabi Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya dengan cara yang (sesungguhnya) diharamkan bagi mereka. Kemudian beliau dibeli oleh sebagian musafir berdasarkan anggapan bahwa beliau adalah budak saudara-saudaranya. Setelah itu mereka membawanya ke Mesir dan menjualnya kembali.
Tinggallah beliau bersama majikannya sebagai seoang pelayan atau budak. Namun di tengah-tengah mereka, Nabi Yusuf adalah seorang pelayan yang dihormati. Allah Subhanahu wa Ta'ala menamakan jual beli yang dilakukan musafir itu muamalah, dengan alasan yang telah kami paparkan.
13. Dalam kisah ini disebutkan bahaya berkhalwat (berduaan) dengan wanita ajnabiyah (bukan isteri atau budak dan bukan mahram), khususnya wanita-wanita yang dikhawatirkan akan menjerumuskan kepada fitnah. Juga anjuran agar menjauhi perasaan cinta atau suka yang dapat menimbulkan mudarat.
Dalam kisah ini, disebutkan bagaimana isteri pembesar tersebut mengalami hal ini karena sendirian bersama Yusuf ditambah lagi rasa cinta yang demikian hebat sehingga akhirnya dia menggoda Yusuf dengan cara sedemikian rupa. Akan tetapi kemudian dia justru mengingkari bahwa dialah yang merayu Nabi Yusuf sehingga akhirnya Nabi Yusuf dipenjara untuk waktu yang lama.
14. Keinginan yang ada dalam diri Nabi Yusuf yang kemudian beliau tinggalkan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dan karena bukti keimanan yang Allah Subhanahu wa Ta'ala letakkan dalam hatinya, termasuk hal-hal yang menaikkan derajat beliau semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena suatu keinginan adalah salah satu faktor pendorong yang timbul dari hawa nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan. Ini adalah naluri atau tabiat yang ada pada anak Adam (manusia).
Maka apabila keinginan itu terlaksana dengan kemaksiatan dan tidak ada sesuatu, baik keimanan ataupun rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menghalanginya dari kemaksiatan itu, maka dia telah terjatuh kepada dosa. Dan jika seseorang itu beriman sempurna, maka keinginan naluriah ini apabila dihadapi oleh iman yang benar dan kuat, akan mencegahnya dari pengaruh yang ditimbulkan oleh keinginan tersebut, meskipun dorongan itu demikian hebat. Dan Nabi Yusuf ‘alaihissalam berada di atas tingkatan ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لَوْلاَ أَنْ رَأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ

“Andaikata dia tidak melihat tanda dari Rabbnya.” (Yusuf: 24)
Hal ini ditunjukkan pula dalam ayat:

كَذلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

“Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala mengistimewakannya, dan kekuatan iman serta keikhlasannya, Allah Subhanahu wa Ta'ala melepaskan beliau agar tidak terjerumus kepada perbuatan dosa. Jelas dari kisah ini bahwa Nabi Yusuf adalah termasuk segelintir manusia yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Beliau termasuk yang paling tinggi derajatnya di antara 7 golongan dari orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta'ala lindungi dengan naungan-Nya pada hari yang tidak ada lagi naungan selain naungan Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyebutkan dalam sabda beliau bahwa salah satu dari tujuh golongan itu adalah seorang laki-laki yang dirayu oleh seorang wanita kaya dan cantik jelita, namun laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”1
Sementara keinginan wanita itu yang tidak ada yang menghalanginya, tetap mendorongnya untuk merayu Nabi Yusuf. Adapun keinginan yang muncul pada Nabi Yusuf kemudian lenyap dengan seketika setelah melihat burhan (tanda) dari Rabbnya.
15. Keimanan yang telah tertanam dalam kalbu seseorang, kemudian hati itu diterangi cahaya ma’rifat (pengenalan) dan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam segenap keadaannya. Allah Subhanahu wa Ta'alaakan menjauhkannya dari setiap kejahatan dan kekejian dengan tanda keimanannya itu. Bahkan juga menjauhkannya dari berbagai jalan kemaksiatan sebagai balasan keimanan dan keikhlasannya. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan bahwa hal-hal inilah yang menjadi alasan Dia menjauhkan kejelekan dan kekejian itu dari Nabi Yusuf. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

كَذلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلِصِيْنَ

“Sesungguhnya Yusuf termasuk hamba-hamba Kami yang mukhlis (berbuat ikhlas).” (Yusuf: 24)
Arti seperti ini apabila disandarkan kepada bacaan yang melafadzkan bunyi lam pada kata mukhlas dikasrah (berbunyi i), sehingga dibaca mukhlis yang artinya sebagaimana yang tercantum. Sedangkan menurut bacaan yang melafalkan lam dengan bunyi a tadi (mukhlash), artinya ialah apabila seorang hamba yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala bersihkan dan Allah Subhanahu wa Ta'ala pilih, maka tentulah dia seorang yang mukhlis, dengan demikian kedua pengertian ini saling berkaitan.
16. Apabila seseorang diuji dengan berada di tempat yang mengandung fitnah dan jalan yang membawa kepada kemaksiatan, hendaknya dia segera berupaya menghindar dan meninggalkan tempat itu semampunya agar selamat dari kejahatan tersebut. Sebagaimana telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf yang menyelamatkan dirinya menuju pintu keluar sementara wanita itu berusaha menarik bajunya dari belakang.
17. Suatu qarinah (indikasi) atau hal-hal yang mendukung dapat digunakan ketika terjadinya kesamaran dalam suatu tuduhan. Artinya, perlunya saksi dalam menentukan suatu keputusan dari suatu kasus, di mana dalam kasus Nabi Yusuf ini ditetapkan dengan adanya qarinah (tanda yang mendukung). Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنْ كَانَ قَمِيْصُهُ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكَاذِبِيْنَ. وَإِنْ كَانَ قَمِيْصُهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصَّادِقِيْنَ

“Jika bajunya koyak di muka, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika bajunya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 26-27)
Akhirnya keputusannya sesuai dengan fakta yang benar. Juga qarinah terdapatnya piala raja di dalam karung saudaranya, ketika para penjaga itu menyebutkan bahwa mereka kehilangan piala raja.
17. Dalam kisah disebutkan tentang ketampanan lahir batin yang dimiliki Nabi Yusuf. Dari ketampanan lahiriah yang dimilikinya menyebabkan tumbuhnya rasa cinta begitu hebat dalam diri wanita bangsawan itu. Dan ketika dia mendengar para wanita di kota itu mencelanya, dia mengundang mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَلَمَّا سَمِعَتْ بِمَكْرِهِنَّ أَرْسَلَتْ إِلَيْهِنَّ وَأَعْتَدَتْ لَهُنَّ مُتَّكَأً وَآتَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ سِكِّيْنًا وَقَالَتِ اخْرُجْ عَلَيْهِنَّ فَلَمَّا رَأَيْنَهُ أَكْبَرْنَهُ وَقَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ وَقُلْنَ حَاشَ لِلّهِ مَا هَذَا بَشَرًا إِنْ هَذَا إِلاَّ مَلَكٌ كَرِيْمٌ

“Maka tatkala wanita itu mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau, lalu dia berkata (kepada Yusuf): ”Keluarlah kepada mereka!” Tatkala para wanita itu melihatnya, mereka kagum akan (ketampanannya), dan mereka mengiris jari mereka dan berkata: “Maha Suci Allah. Ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain adalah malaikat yang mulia.” (Yusuf: 31)
Sedangkan keindahan batin beliau, terlihat dari sikap ‘iffah (menjaga kehormatan) yang besar pada diri beliau, seiring dengan adanya dorongan yang kuat untuk terjerumus kepada kemaksiatan. Akan tetapi cahaya keimanan dan kekuatan keikhlasan yang tidak mungkin seorang mulia menyimpang dari keduanya, dan tidak mungkin terkumpul pada orang yang hina (telah menahan beliau dari semua itu).
Bahkan telah dijelaskan pula oleh isteri pembesar itu bahwa dua karakter (kecantikan lahir dan batin) ini ada pada diri Nabi Yusuf. Yakni, ketika dia memperlihatkan kepada para wanita itu kecantikan lahiriah yang diakui pula oleh mereka bahwa kecantikan ini tidak mungkin ada pada manusia, isteri pembesar itu berkata, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta'ala sebutkan dalam ayat:

وَلَقَدْ رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ فَاسْتَعْصَمَ

“Dan sesungguhnya aku telah menggoda dia untuk menundukkan dirinya kepadaku, tapi dia menolak.” (Yusuf: 32)
Kemudian dia mengatakan pula sesudah perkataan itu:

اْلآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ أَنَا رَاوَدْتُهُ عَنْ نَفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِيْنَ

“Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya kepadaku, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf: 51)
18. Nabi Yusuf ‘alaihissalam lebih memilih dipenjara daripada terjerumus kepada kemaksiatan. Demikianlah seharusnya ketika seseorang dihadapkan kepada satu dari dua pilihan; jatuh kepada kemaksiatan atau menerima hukuman dunia. Seharusnya dia memilih hukuman duniawi yang justru di balik itu terdapat pahala dari beberapa sisi, pahala atas pilihannya terhadap keimanannya daripada keselamatan dari hukuman dunia, pahala dari segi bahwa hal ini adalah bentuk penyucian dan pemurnian seorang mukmin, di mana hal ini termasuk dalam kerangka jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Juga pahala dari sisi musibah yang diterimanya serta sakit yang dirasakannya.
Maha Suci Allah yang memberikan kenikmatan dan menunjukkan kelembutan-Nya kepada hamba-hamba pilihan-Nya melalui cobaan atau ujian-Nya. Hal ini juga merupakan tanda-tanda keimanan dan kebahagiaan.
(Bersambung, Insya Allah)

(Diambil dari kitab Taisir Al-Lathif Al-Manan fi Khulashah Tafsiri Al-Qur`an karya Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah,
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

1 HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah dalam Shahih-nya, no. 620, 1334, 6308.

Kuping dan rambut hitam putih

Monday, July 6, 2009

Mbah Mutammakin Kajen Pati

Mbah Mutamakin Menundukkan NafsunyaSyekh Ahmad Mutamakin adalah wali qutub pada zamannya, sosok yang menimbulkan kegemparan di masa Pakubuwono II.

Mbah Mutamakin, demikian panggilannya, dituduh mengajarkan ilmu hakikat kepadakhalayak umum.
Selain itu Mbah Mutamakin juga kerap menggunakan kisah Dewa Ruci untuk menyampaikan ajarannya, sehingga dia dituduh sinkretis.Mbah Mutamakin, pada masa riyadahnya, melakukan puasa 40 hari
berturut-turut sambil mengamalkan zikir tarekat. Dia berbuka hanya
sedikit sekali, sehingga senantiasa kelaparan selama 39 hari. Pada
hari ke-40, menjelang berbuka puasa, Mbah Mutamakin meminta
dimasakkan makanan kesukaannya yang enak-enak, ditambah semua jenis
makanan yang rasanya "mak nyuuussss." Kemudian beliau meminta agar
dirinya diikat kuat-kuat di tiang – tubuhnya dililit kuat-kuat dengan
tali dari leher sampai kaki. Lalu semua makanan dan minuman yang
enaak tenan diletakkan di depannya.

Dan bedug maghrib tiba. Nafsu makannya pun terbit. Tetapi Mbah
Mutamakin yang terikat tentu tidak bisa mengambil makanan. Dan hawa
nafsunya pun berontak. Terjadilah "pertempuran" hebat dalam dirinya.
Mbah Mutamakin terus digoda agar memanggil istrinya untuk melepaskan
ikatan agar bisa melahap makanan. Tetapi Mbah Mutamakin bertahan.
Akhirnya hawa nafsunya sudah tak tahan lagi, dan keluar dari tubuh
Mbah Mutamakin, menjelma menjadi dua ekor anjing, yang langsung
melompat menghabiskan seluruh makanan. Setelah kenyang, nafsu itu
ingin kembali ke Mbah Mutamakin. Tetapi Mbah Mutamakin menolaknya.
Sejak itu dua ekor anjing itu menjadi peliharaannya, dan diberi nama
Abdul Qahar dan Qamaruddin.

Entah disengaja atau tidak, nama anjing itu sama dengan nama dua
orang khatib (penghulu) agama yang berpengaruh di Tuban. Akibatnya
dua orang alim itu tersinggung, dan terjadilah kontroversi, yang pada
puncaknya menyeret Mbah Mutamakin ke pengadilan di istana sang raja.

Kini makam Mbah Mutamakin yang berada di Kajen, Pati, Jawa Tengah,
ramai dikunjungi orang, terutama pada peringatan haulnya setiap 1
Muharram (1 Suro).

Wa Allahu a'lam bi as-shawab

sumber : Triwibs

Ilir Ilir

ilir-ilir

Ilir-ilir, ilir-ilir
tandure wus sumilir
tak ijo royo-royo
tak sengguh temanten anyar

Bocah angon, bocah angon
penekno blimbing kuwi
lunyu-lunyu penekno
kanggo mbasuh dodot-iro

Dodot-iro, dodot-iro
kumitir bedhah ing pinggir
dondomono, jlumatono
kanggo sebo mengko sore

Mumpung padhang rembulane
mumpung jembar kalangane

Yo surak’o… surak hiyo…

Candi Singosari

Syarat meraih keberkahan

DUA SYARAT MERAIH KEBERKAHAN

Untuk memperoleh keberkahan dalam hidup secara umum dan dalam penghasilan secara khusus, terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi.

Pertama. Iman Kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Inilah syarat pertama dan terpenting agar rizki kita diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya" [Al-A’raf : 96>

Demikian, balasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan sekaligus menjadi penjelas bahwa orang yang kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, niscaya tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.

Di antara perwujudan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkaitan dengan penghasilan, ialah senantiasa yakin dan menyadari bahwa rizki apapun yang kita peroleh merupakan karunia dan kemurahan Allah Subhanahu wa Ta’ala , bukan semata-mata jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan kadar rizki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya.

Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita bisa membukukan buktinya. Setiap kali kita mendapatkan suatu keberkahan, maka kita lupa daratan, dan merasa keberhasilan itu karena kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana, maka kita menuduh alam sebagai penyebabnya, dan melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bila demikian, maka mana mungkin Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberkahi kehidupan kita? Bukankah pola pikir semacam ini yang telah menyebabkan Qarun mendapatkan adzab dengan ditelan bumi? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Qarun berkata : "Sesunguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku". Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya .." [Al-Qashah : 78>

Perwujudan bentuk yang lain dalam hal keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berkaitan dengan rizki, yaitu kita senantiasa menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan.

"Dari Sahabat Aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab badui, lalu menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan (saja). Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : "Ketahuilah seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Bismillah, pent), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian". [HR Ahmad, An-Nasa-i dan Ibnu Hibban>

Pada hadits lain, Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Ketahuilah bahwasanya salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata : "Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami", kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut, pent) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan" [HR Al-Bukhari>

Demikian, sekilas penjelasan peranan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan, sehingga mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.

Kedua : Amal Shalih

Yang dimaksud dengan amal shalih, ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syari’at yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi syarat datangnya keberkahan sebagaimana ditegaskan pada surat Al-A’raf ayat 96 diatas.

Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

"Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka" [Al-Ma’idah : 66>

Para ulama tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan "mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki", ialah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meielimpahkan kepada mereka rizki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih, lesu, dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketentraman hidup mereka [5>

Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shalih, ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut, Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh guna menjaga agar harta warisan yang dimiliki dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut , sehingga tidak nampak dan tidak bisa diambil oleh orang lain.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirmn.

"Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shalih, maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu" [Al-kahfi : 82>

Menurut penjelasan para ulama tafsir, ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shalih itu bukan ayah kandung dari kedua anak tersebut. Akan tetapi, orang tua itu ialah kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shalih akan dijaga, dan keberkahan amal shalihnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafa’at kepada mereka, dan derajatnya akan diangkat ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah’ [6>

Sebaliknya, bila seseorang enggan beramal shalih, atau bahkan malah berbuat kemaksiatan, maka yang ia petik juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Sesungguhnya seseorang dapat saja tercegah dari rizkinya akibat dari dosa yang ia kerjakan" [HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Hakim dll>

Membusuknya daging dan basinya makanan, sebenarnya menjadi salah satu dampak buruk yang harus ditanggung manusia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Israil, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk" [Muttafaqun ‘alaih>

Para ulama menjelaskan, tatkala Bani Israil diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-dading burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini, dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, untuk disimpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk. [7>

Demikian, penjelasan dua syarat penting guna meraih keberkahan.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. ]